Scars are tattoos
with better stories.

Personal Stories

"Surviving the Odds"
Penny Purnawaty, 42 tahun
Survivor (2 tahun)

Saya didiagnosa kanker stadium 3B pada bulan November 2011. Sebelumnya saya memang sudah menyadari punya benjolan di payudara sejak kurang lebih pada tahun 2007. Ketika menyadari hal itu, saya langsung pergi memeriksakan diri ke dokter. Namun, saat itu dokter yang menangani saya sama sekali tidak mengkhawatirkan kondisi tersebut karena benjolannya masih kecil, dan menurutnya bisa jadi hanya kelenjar yang disebabkan oleh faktor hormonal. Tapi karena saya tidak ingin mendiamkan benjolan itu, saya putuskan untuk menempuh penanganan alternatif dengan seseorang yang selama ini memang sudah biasa ‘pegang’ badan saya. Dia membantu memperbaiki kondisi tubuh saya selama 10 tahun terakhir dengan menyembuhkan sakit di punggung dan mengecilkan kista di rahim. Semua dilakukan dengan teknik urut (pijat). Karena saya pikir benjolan ini tidak serius, saya menjalani proses penyembuhan dengan metoda alternatif tersebut – tanpa rasa takut – selama kurang lebih 4 tahun.

Singkat cerita, memasuki tahun ke-4 itu, saya menyadari bahwa benjolan saya malah jadi semakin besar. Bahkan sudah menonjol ke permukaan kulit seperti bisul raksasa. Akhirnya, saya sadar bahwa metoda penyembuhan alternatif tidak membawa hasil yang sesuai harapan. Lalu, saya mulai melakukan riset sendiri lewat internet dan memutuskan untuk pergi konsultasi ke dokter onkologi ternama di Jakarta.

Itulah saat pertama saya didiagnosa kanker. Namun karena pendekatan dokter yang membuat saya traumatis, saya putuskan untuk tidak lagi melanjutkan berobat dengan dokter tersebut. Akhirnya, setelah melalui riset singkat berikut rekomendasi dari teman, saya berketetapan untuk pergi konsultasi dan berobat di Singapura.

Di Singapura saya harus melalui banyak konsultasi dan pemeriksaan dengan tim dokter yang terdiri dari dokter ahli bedah payudara, dokter onkologi, dan dokter radioterapi. Proses pemeriksaan menyeluruh yang menyakitkan serta meletihkan fisik dan mental berujung pada kesimpulan: saya menderita kanker payudara stadium 3B dengan diameter tumor sebesar 7 cm. Selanjutnya, saya harus menghadapi serangkaian metoda pengobatan yang berat, yaitu: 8 kali kemoterapi, operasi pengangkatan payudara (mastectomy), radioterapi selama 5 minggu penuh, dan infus obat khusus tambahan selama 17 kali. Total masa pengobatan saya adalah 16 bulan.

Saat menerima keputusan dokter, saya ingat sempat merasa asing dan dingin dengan tubuh sendiri. Semacam ada penolakan secara psikologis atas kondisi yang saya alami. Saya memilih untuk menjauh dari semua orang, termasuk suami sendiri, untuk menangis sendirian di lorong rumah sakit. Yang saya rasakan saat itu hanya satu: takut mati.

Tapi saya memutuskan untuk tidak larut dalam ketakutan dan kesedihan. Saya pulang ke Jakarta dengan berketetapan hati untuk melakukan seluruh prosedur yang harus dijalani sesuai petunjuk tim dokter.

Satu hal yang membantu menolong meringankan beban psikologis saya adalah ketika bertemu dengan dua orang perempuan yang sudah mengalami seluruh rangkaian pengobatan termasuk pengangkatan payudara, Shanti Persada dan Madelina Mutia (Muti). Shanti adalah kawan lama suami saya ketika kuliah dulu. Ketika Shanti mendengar bahwa saya didiagnosa kanker payudara, ia mengajak teman seperjuangannya, Muti, meluangkan waktu untuk ngobrol, berbagi semua pengalaman mereka, sambil menyemangati dan menghibur saya. Cara mereka menyampaikan kisah masing-masing sungguh membuat saya terpesona dan kagum. Betapa di mata saya mereka tampak sebagai perempuan-perempuan atraktif yang penuh percaya diri dan sangat tegar. Sama sekali tidak ada jejak kepedihan maupun perjuangan berat yang sudah mereka lalui ketika menjalani pengobatan. Saya pulang dari pertemuan dengan tekad yang bulat: saya harus kuat melalui ini semua, dan saya pasti bisa!

Saya meyakini bahwa faktor yang sangat penting dalam menjalani proses pengobatan berat seperti terapi kanker adalah pilihan kita untuk bersikap: mau dibawa berat dan susah, atau dijalani dengan bersemangat? For me, pain is inevitable, but suffering is optional.

Saya memilih untuk tidak menderita dalam melalui kejadian ini. Saya tetap bangun pagi dengan semangat menjalani hari-hari ke depan. Pada hari-hari di mana saya dalam kondisi sehat, tetap mencoba beraktivitas normal. Saya juga anti berpenampilan ‘sakit’ di depan banyak orang. Saya berupaya agar penampilan selalu terjaga dengan baik. Rambut rontok dan kepala botak bukan halangan bahkan jadi tantangan. Bagaimana menyiasati agar tetap nampak menarik tanpa perlu menimbulkan belas kasihan orang lain. Bereksperimen dengan macam-macam jenis penutup kepala: mulai dari topi, bandana, sampai wig. Saya juga jadi lebih rajin berdandan. Karena kemoterapi bukan hanya menyebabkan rambut kepala rontok, tapi juga alis dan bulu mata, saya belajar supaya jadi lebih terampil untuk menggambar alis dan memakai bulu mata palsu. Dalam banyak kesempatan ketika bertemu teman-teman, mereka sama sekali tidak menduga bahwa saya sedang menjalani pengobatan berat. Bahkan ada yang berpikir kepala botak itu adalah pilihan mode!

Bertemu banyak teman, pergi berlibur, mengerjakan pekerjaan lepas waktu, semua saya jalani dengan suka hati. Dukungan dari keluarga, sahabat dan kerabat sungguh luar biasa. Itu menjadi suntikan semangat yang besar sekali artinya. Langkah saya dalam menjalani pengobatan pun menjadi lebih ringan.

Memilih sikap ‘pasrah’ dan menerima keadaan membuat saya bisa menjalani semua dengan tenang. Saya mengerti, yang bisa saya lakukan adalah berusaha dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga. Selanjutnya, apapun hasilnya nanti, sudah bukan urusan saya lagi dan tidak ada gunanya untuk dirisaukan.

Pengobatan kanker adalah salah satu yang termahal di dunia. Oleh karena itu, memang orang-orang yang punya kemampuan untuk bisa menjalani pengobatan sebenarnya adalah mereka yang tergolong ‘masih beruntung’. Kejadian ini membuat saya menyadari hal tersebut. Alih-alih meratapi nasib, saya malah sangat bersyukur karena diberi ‘kemewahan’ untuk berobat sampai selesai dan sembuh. Sebab tidak semua orang punya kesempatan yang sama.

Kemudian, setelah semua pengobatan berat selesai, saya sempat berpikir: sungguh besar biaya yang harus dikeluarkan ‘hanya’ supaya bisa sembuh. Lalu setelah sembuh mau melakukan apa? Bagaimana saya menjustifikasi pengeluaran biaya yang sangat besar demi mempertahankan nyawa ini?

Apabila hidup adalah mengenai ‘kesempatan kedua’, maka saya akan mencoba mendedikasikan diri untuk lebih peduli pada orang lain. Fokus hidup ini harusnya bukan lagi tentang saya. Sebab saya bisa saja sudah mati karena penyakit ini. Tapi ternyata saya masih bisa hidup. Saya akan belajar untuk hidup dengan kesadaran penuh akan keseharian saya, menjadikannya sebagai momen-momen yang berharga, merayakannya dengan berbagi pada sesama.

The important thing is not how many years in your life, but how much life in your years. ~Edward J. Stieglitz

Saya tidak punya tips khusus untuk pasien kanker payudara, selain bahwa seharusnya kemauan sembuh dan keinginan untuk tetap tampil menarik dan menjalani keseharian seperti biasa, bisa mengatasi rasa takut yang melumpuhkan dan sama sekali tidak produktif untuk proses penyembuhan.

Pada akhirnya, semua pilihan sikap ada di tangan kita sendiri. Semakin cepat kita menyadari hal itu, seharusnya semakin baik keputusan yang bisa kita ambil. Jadikan saya sebagai contoh buruk karena terlambat mengambil keputusan untuk berobat secara medis. Kalau saja saya tidak menunggu selama 4 tahun sampai benjolan saya besar, mungkin sekarang ceritanya akan berbeda.

Kalau ada satu doa yang sangat membantu menguatkan dan menenangkan saya selama menjalani masa pengobatan sampai sekarang, maka doa itu adalah:

Serenity Prayer: God, grant me the serenity to accept the things I can not change, the courage to change the things I can, and wisdom to know the difference